Harapan itu masih adakan? Yaa Rabb?
Hanya hati yang bisa menjelaskan, hanya mulut
yang jadi perantara dan hanya sikap yang akan menentukan bahwa harapan itu
tidak musnah. Iya, mungkin yang tersurat dalam coretan ini, penuh
asam manis kehidupan sang daun muda yang akan terus menjadi bagian dari tumbuhan
yang sangat berpengaruh, bagaimana tidak daun itu ibarat fungsi yang vital yang
ada pada tumbuhan.
Semua makhluk hidup di dunia ini pasti punya harapan,
walaupun itu hanya sedikit kemungkinan bisa tercapai, di ibaratkan harapan itu sebagai
garis finish suatu perlombaan balap lari yang dimana seorang pelari berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk mencapainya dengan segala macam cara dari berlatih, warm
up, hingga menyusun strategi agar nafas stabil untuk meraih posisi paling
depan.
Tapi, memang tidak bisa di pungkiri bahwa makhluk-makhluk
sang creator alam semesta tak pernah lepas dari harapan, walaupun sehelai nafas
yang berhembus dari rongga hidung manusia, mereka tak pernah berhenti mengharap
sesuatu dariapa yang telah dia usahakan atau pun mereka pinta.
Goresan tinta sang daun muda ini akan mengisahkan
bagaimana seorang tak bisa hidup tanpa harapan, ketika seorang anak manusia dilahirkan
dari Rahim seorang malaikat cantik yang bernama ibu, betapa hebatnya sang
pekerja perasaan itu mampu bertahan dalam kurun waktu yang relative lama, yang
terkandung dalam rahimnya adalah sebuah harapan, ketika malaikat cantik mengandung
cabang bayi, dia berharap bahwa kelak anak yang dilahirkannya bisa mewujudkan harapan
dirinya dan orang-orang disekelilingnya.
Seorang bayi
dilahirkan ke dunia telah mendapat fitrah yaitu berupa membuat senang bagi siapa
yang berada di dekatnya, artinya bahwa kita telah di berikan suatu nikmat yang
sebelumnya belum kita harapkan nikmat tersebut terucap dalam perkataan imam Ali
bin Abu Thalib :
“ولدتك امك باكيا والناس حولك
يضحكون سرورا”
Artinya : “kamu dilahirkan oleh ibu mu dalam keadaan menangis,
sementara orang-orang disekelilingmu tertawa bahagia”
Kau tahu
artinya? Bahwa dilahirkannya kita ke
dunia menunjukkan bahwa kita adalah harapan bagi orang-orang yang ada disekeliling
kita, memang terkadang sebuah harapan itu selalu dikaitkan dengan kebahagiaan,
ya memang benar.
Harapan itu dimulai, tak terasa sejak pertama
kali ku memandangnya dan aku sendiri tidak tahu sejak kapan, biar waktu yang menghukum
akal ini karena tak sanggup memutar dan merekam semua kejadian yang telah terjadi,
sehingga hanya lisan yang bisa bersaksi bahwa
kejadian itu pernah terjadi.
Tidak ku pandang serius tidak pula ku perdulikan
siapa dia, yang kutahu dia dulu pernah menjadi bagian harapanku, tapi harapan itu berusaha aku kubur karena dia telah menjadi harapan
bagi seseorang yang ku kira lebih baik dariku, maka aku ubah harapan itu menjadi
kertas kosong yang sebelumnya kertas itu penuh dengan coretan harapan, ketika dia
bahagia bersama harapannya, terkadang hati ini berontak dan berkata “Apa yang
kau sudah lakukan? Mengapa kau berikan harapanmu kepada orang lain?” akal
menjawab “Apakah kau pantas wahai hati, mendapatkan harapannya?” hati hanya terdiam
mendengar pertanyaan akal, untuk waktu yang tak bisa di tentukan hingga dia pun
mengubur dirinya hidup-hidup, tidak mati mungkin mati suri.
Harapan tak lagi ku sebut dalam doa, tak lagi kuputar
ulang kembali wajah serta senyumnya di akal ini, sehingga kenormalan itu mulai kurasakan,
dan mulai biasa kujalani hidup tanpa harapan, hanya realita yang ku jadikan sebagai
tempat berpijak kemana hati ini akan melangkah tanpa harapan sambil mengadu kepada
pengatur skenario kehidupan untuk masih bisa mempunyai harapan.
Ya, kehidupan ku hanya bak berjalan tak berlari
mengejar garis finish yang sama sekali tak
tampak kibaran bendera garis finish, yang ku lakukan hanya menunggu sambil berjalan
tertunduk untuk mencari dimana harapan itu ku jumpai, tapi entah mengapa harapan
itu mulai mendekat lagi padaku, aku mulai khawatir aku akan kehilangan harapan lagi.
Yaa, putih nama harapanku itu, apa yang terjadi padanya? Apa ini karena amanah
yang mendekatkan atau ada hal lain selain itu, aku merasa ada hal yang membuat putih
tidak lagi menjadi harapan bagi seseorang, aku mencoba selidiki untuk bisa kembali
melihat putih menjadi harapan yang di inginkan oleh siapapun.
Tapi aku memilih untuk berpura-pura seakan-akan
aku tak peduli kepada putih, sebab kesedihan itu masih bergelayut di mata teduh
itu. Entah mengapa aku merasa begitu? Yang pasti aku cari tahu penyebab kenapa putih
seperti itu dengan berpura-pura tak peduli, dan aku dapati masalahnya. Sesekali
aku mencoba untuk membedakan dia dengan yang lainnya, agar dia merasa tidak diadili,
karena aku pernah mengubur perasaan ini, aku tak ingin menggali perasaan ini.
Hal
yang paling aku khawatirkan
pun terjadi, dan putih mempertanyakan sikapku, “Mengapa kau bedakan aku dengan
yang lainnya? Kenapa kau tidak berbagi tawa dan canda denganku?”
aku pun bingung aku berusaha untuk menjauh dari putih,
tapi aku tidak ingin jauh darinya, “Ada
apa ini? Apa harapan itu bangkit kembali?” benar ternyata bahwa harapan itu bangkit dan sekarang berubah menjadi tanaman
yang terus berkembang dan tumbuh dan aku
tidak khawatir lagi kepada harapan akan meninggalkan atau kembali menguburnya. Aku
bersyukur. Dan tidak lagi aku berjalan lalu ku mulai berlari mencapai garis
finish karena aku gantungkan harapan itu bersama doa dan usaha disisi sang
penulis skenario. Bahwa harapan itu akan selalu ada.
-AZ's