Selasa, 16 Juni 2015

Harapan itu masih ada



Harapan itu masih adakan? Yaa Rabb?
Hanya hati yang bisa menjelaskan, hanya mulut yang jadi perantara dan hanya sikap yang akan menentukan bahwa harapan itu tidak musnah. Iya, mungkin yang tersurat dalam coretan ini, penuh asam manis kehidupan sang daun muda yang akan terus menjadi bagian dari tumbuhan yang sangat berpengaruh, bagaimana tidak daun itu ibarat fungsi yang vital yang ada pada tumbuhan.
Semua makhluk hidup di dunia ini pasti punya harapan, walaupun itu hanya sedikit kemungkinan bisa tercapai, di ibaratkan harapan itu sebagai garis finish suatu perlombaan balap lari yang dimana seorang pelari berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapainya dengan segala macam cara dari berlatih, warm up, hingga menyusun strategi agar nafas stabil untuk meraih posisi paling depan.
Tapi, memang tidak bisa di pungkiri bahwa makhluk-makhluk sang creator alam semesta tak pernah lepas dari harapan, walaupun sehelai nafas yang berhembus dari rongga hidung manusia, mereka tak pernah berhenti mengharap sesuatu dariapa yang telah dia usahakan atau pun mereka pinta.
Goresan tinta sang daun muda ini akan mengisahkan bagaimana seorang tak bisa hidup tanpa harapan, ketika seorang anak manusia dilahirkan dari Rahim seorang malaikat cantik yang bernama ibu, betapa hebatnya sang pekerja perasaan itu mampu bertahan dalam kurun waktu yang relative lama, yang terkandung dalam rahimnya adalah sebuah harapan, ketika malaikat cantik mengandung cabang bayi, dia berharap bahwa kelak anak yang dilahirkannya bisa mewujudkan harapan dirinya dan orang-orang disekelilingnya.
          Seorang bayi dilahirkan ke dunia telah mendapat fitrah yaitu berupa membuat senang bagi siapa yang berada di dekatnya, artinya bahwa kita telah di berikan suatu nikmat yang sebelumnya belum kita harapkan nikmat tersebut terucap dalam perkataan imam Ali bin Abu Thalib :
ولدتك امك باكيا والناس حولك يضحكون سرورا
Artinya : “kamu dilahirkan oleh ibu mu dalam keadaan menangis, sementara orang-orang disekelilingmu tertawa bahagia”
          Kau tahu artinya?  Bahwa dilahirkannya kita ke dunia menunjukkan bahwa kita adalah harapan bagi orang-orang yang ada disekeliling kita, memang terkadang sebuah harapan itu selalu dikaitkan dengan kebahagiaan, ya memang benar.  
Harapan itu dimulai, tak terasa sejak pertama kali ku memandangnya dan aku sendiri tidak tahu sejak kapan, biar waktu yang menghukum akal ini karena tak sanggup memutar dan merekam semua kejadian yang telah terjadi,  sehingga hanya lisan yang bisa bersaksi bahwa kejadian itu  pernah terjadi.
Tidak ku pandang serius tidak pula ku perdulikan siapa dia, yang kutahu dia dulu pernah menjadi bagian harapanku, tapi harapan itu  berusaha aku kubur karena dia telah menjadi harapan bagi seseorang yang ku kira lebih baik dariku, maka aku ubah harapan itu menjadi kertas kosong yang sebelumnya kertas itu penuh dengan coretan harapan, ketika dia bahagia bersama harapannya, terkadang hati ini berontak dan berkata “Apa yang kau sudah lakukan? Mengapa kau berikan harapanmu kepada orang lain?” akal menjawab “Apakah kau pantas wahai hati, mendapatkan harapannya?” hati hanya terdiam mendengar pertanyaan akal, untuk waktu yang tak bisa di tentukan hingga dia pun mengubur dirinya hidup-hidup, tidak mati mungkin mati suri.
Harapan tak lagi ku sebut dalam doa, tak lagi kuputar ulang kembali wajah serta senyumnya di akal ini, sehingga kenormalan itu mulai kurasakan, dan mulai biasa kujalani hidup tanpa harapan, hanya realita yang ku jadikan sebagai tempat berpijak kemana hati ini akan melangkah tanpa harapan sambil mengadu kepada pengatur skenario kehidupan untuk masih bisa mempunyai harapan.
Ya, kehidupan ku hanya bak berjalan tak berlari mengejar garis finish  yang sama sekali tak tampak kibaran bendera garis finish, yang ku lakukan hanya menunggu sambil berjalan tertunduk untuk mencari dimana harapan itu ku jumpai, tapi entah mengapa harapan itu mulai mendekat lagi padaku, aku mulai khawatir aku akan kehilangan harapan lagi. Yaa, putih nama harapanku itu, apa yang terjadi padanya? Apa ini karena amanah yang mendekatkan atau ada hal lain selain itu, aku merasa ada hal yang membuat putih tidak lagi menjadi harapan bagi seseorang, aku mencoba selidiki untuk bisa kembali melihat putih menjadi harapan yang di inginkan oleh siapapun.
Tapi aku memilih untuk berpura-pura seakan-akan aku tak peduli kepada putih, sebab kesedihan itu masih bergelayut di mata teduh itu. Entah mengapa aku merasa begitu? Yang pasti aku cari tahu penyebab kenapa putih seperti itu dengan berpura-pura tak peduli, dan aku dapati masalahnya. Sesekali aku mencoba untuk membedakan dia dengan yang lainnya, agar dia merasa tidak diadili, karena aku pernah mengubur perasaan ini, aku tak ingin menggali perasaan ini.
Hal yang paling aku khawatirkan pun terjadi, dan putih mempertanyakan sikapku, “Mengapa kau bedakan aku dengan yang lainnya? Kenapa kau tidak berbagi tawa dan canda denganku?” aku pun bingung aku berusaha untuk menjauh dari putih, tapi aku tidak ingin jauh darinya, Ada apa ini? Apa harapan itu bangkit kembali?” benar ternyata bahwa harapan itu bangkit dan sekarang berubah menjadi tanaman yang terus berkembang dan tumbuh dan aku tidak khawatir lagi kepada harapan akan meninggalkan atau kembali menguburnya. Aku bersyukur. Dan tidak lagi aku berjalan lalu ku mulai berlari mencapai garis finish karena aku gantungkan harapan itu bersama doa dan usaha disisi sang penulis skenario. Bahwa harapan itu akan selalu ada. 

-AZ's

1 komentar:

  1. Tapi ternyata kini sadar bahwa nyatanya semakin menjauh, akan semakin menyesakkan dada, iya kan?

    #kasihtau ya mi

    BalasHapus